Jakarta, www.sthmahmpthm.ac.id – Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) “AHM-PTHM” Ditkumad selenggarakan Diskusi Kelompok Terarah Focus Group Discussion (FGD) dengan tema: “Pemberlakuan Hukum Adat Dalam Penyelesaian Perkara bagi Masyarakat Pendatang Khususnya Militer”, dengan narasumber Hakim Agung RI Bapak Dr. Abdurachman, S.H., M.H., dan Kasubdit Kawasan Khusus Lingkup I Ditjen Bina Adwil Kemendagri Bapak Henry Firdaus, S.H., Msi., bertempat di Aula STHM “AHM-PTHM” Ditkumad Jl. Matraman Raya No. 126 Jakarta Timur, Senin (18/9).
Mengawali sambutannya, Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer (Tua STHM) Kolonel Chk Atto Salurapa, S.H., M.H., menyampaikan beberapa permasalahan yang terjadi dan perlu didiskusikan terkait dengan adanya pemberlakuan hukum adat antara lain: Pertama, secara sosiologis – factual, hukum adat masih berlaku dimasyarakat, sehingga keberadaan dan keberlakuan hukum adat masih mempengaruhi pola hidup dan pola tingkah laku masyarakat. Kedua, secara yuridis, hukum adat mendapat pengakuan karena memang mendapat legalitas dalam Undang-undang kekuasaan Kehakiman. Ketiga, doktrin hukum juga menjelaskan bahwa suatu sistem hukum tidak hanya norma undang-undang, tetapi juga struktur kelembagaan dan budaya hukumnya. Budaya Hukum adalah inheren termasuk nilai-nilai hukum adat yang dipelihara dan mengikat dalam kehidupan masyarakat. Keempat, dalam lingkungan masyarakat tertentu hukum adat masih dipegang erat sebagai pola penyelesaian perkara yang terjadi di lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
Menurutnya, masyarakat militer, yang hidup ditengah-tengah masyarakat pada umumnya, secara sosial tidak bisa melepaskan diri dari apa yang berlaku dalam lingkungan masyarakat disekitarnya. Maka sampai saat ini sesungguhnya masih menjadi problema yang dilematis, pada satu sisi, ketika anggota militer melakukan perbuatan yang masuk ranah hukum adat, dan merugikan kerugian atau dipandang sebagai pelanggaran dalam masyarakat adat, sehingga masyarakat yang dirugikan atas perbuatan militer dimaksud menuntut untuk diselesaikan secara adat.
Pada sisi lain, militer dalam hal hukum pidana mempunyai sistem hukum dan sistem peradilan (pidana) tersendiri. Sedangkan pada wilayah hukum perdata, pada umumnya bagi militer secara umum menundukan diri atau tunduk pada sistem hukum nasional. Sehingga mekanisme dan sanksinya mengikuti mekanisme dan sanksi yang diatur dalam hukum nasional.
Komandan Satuan dilapangan sering dihadapkan pada kondisi yang tidak pasti dan tidak mudah untuk menghadapi tuntutan adat dari masyarakat setempat ketika anak buah disatuannya terlibat dalam pelanggaran yang juga termasuk dalam tata hukum adat. Keadaan ini perlu disikapi oleh kita sebagai institusi TNI yang membidangi hukum. Setidaknya kita dapat mendisikusikan dan pada akhirnya nanti kita dapat mengambil kesimpulan terkait dengan pemberlakuan Hukum Adat dalam penyelesaian perkara bagi masyarakat pendatang khususnya militer.
Pada kesempatan ini pula, Tua STHM mengundang para narasumber dari Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia bapak Dr. Abdurachman, S.H., M.H., dan Kasubdit Kawasan Khusus Lingkup I Ditjen Bina Adwil Kemendagri Bapak Henry Firdaus, S.H., Msi., untuk memberikan pencerahan tentang penyelesaian perkara bagi militer yang melanggar hukum adat setempat. Untuk itu pada kesempatan ini pula, para peserta diskusi dapat memberikan pandangan dan peransertanya guna memberikan masukan atau setidak-tidaknya memberikan suatu gambaran awal tentang bagaimana pemecahan persoalan yang dihadapi dilapangan.
Sebelum mengakhiri sambutannya, Tua STHM berharap diskusi ini dapat membuahkan hasil yang signifikan agar dapat dijadikan sebagai bahan saran masukan ke Komando Atas terkait dengan bagaimana pemberlakuan hukum adat dalam penyelesaian perkara bagi masyarakat pendatang khususnya militer.
Dari hasil FGD tersebut dihasilkan beberapa kesimpulan diantaranya: Pertama, Tuntutan reformasi, nasional menghendaki agar hukum adat yang sudah hidup dalam masyarakat Indonesia selama ratusan tahun tidak boleh ditinggalkan/ dihilangkan. Merespon tuntutan reformasl tersebut, maka keberadaan hukum adat dlrumuskan dalam konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada Pasal 186 ayat (2) dan Pasal 20 ayat (3).
Kedua, Keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia tetap dlakui. Jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: Masih dalam bentuk masyarakat paguyuban, kelembagaan perangkat ada, Memiliki wilayah hukum adat yang diakui, Adanya norrna-norrna yang masih dltaatl, dan Tldak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku sekarang. Ketiga, Pada saat ini di Indonesia hanya ada satu Peradilan Adat yang diakui secara legalitas formal, yaitu di wilayah Papua dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonoml Khusus bagl Provlnsi Papua. Keempat, Pemberlakuan hukum adat dalam penyelesalan perkara dalam implementaslnya terjadi dua pendapat pandangan. yaitu: Hukum adat hanya diberlakukan terhadap Masyarakat Hukum Adat itu sendiri Masyarakat Hukum Adat setempat; dan Hukum adat diber!akukan terhadap semua pelaku yang melenggar ketentuan hukum adat, tanpa memandang pelakunya millter atau bukan militer. Namun apablla mlliter meranggar ketentuan hukum adat, cara penyelesaiannya sebalknya melalul cara mediasi terlebih dahulu antara para Komandan Satuan dengan tokoh. Tokoh adat dan sanksinya tetap mengacu kepada sanksl yang bertaku di lngkungan militer (pidana, disiplin, atau administrasi). Kelima, Penerapan hukum adat harus sesuai dengan Jiwa naslonal bangsa Indonesia
Turut hadir dalam kegiatan FDG, Dirjen Penanganan Agraria Pemanfaatan Ruang dan Tanah BPN Dr. H. S. Ikhsan, S.H., Msi., M.H., Kepala Pengadilan Militer Utama (Kadilmiltama) Marsekal Muda TNI Bambang Ariwibowo, S.H., M.H., Wakil Oditur Jenderal (Waorjen) Laksamana Pertama TNI Guramad, S.H., M.H., Para Pejabat STHM golongan IV Ditkumad dan STHM Ditkumad, Para Kakum Kotama di Jakarta, dan Para Perwira STHM “AHM-PTHM” Ditkumad. (Pamasis XXII/STHM “AHM-PTHM”)