Cari Halaman / Postingan

 
REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA
  02 November 2021  

REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA

Oleh:

Husni Mubaraq (2335)

 MAHASISWA SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER "AHM-PTHM"

ANGKATAN XXV

2021

 

PENDAHULUAN

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Kecanggihan teknologi dan perkembangan teknologi memberi dampak negatif kepada setiap orang apabila menyalahgunakan teknologi tersebut, tetapi ada juga dampak positif dimana perkembangan teknologi dapat memudahkan proses pembuktian di persidangan. Pembuktian dibatasi oleh ketentuan tentang cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Kemajuan zaman sekarang telah melahirkan Undang-Undang baru dimana Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi eletronik juga mengatur tentang alat bukti yang merupakan perluasan dari KUHAP.

Demi memberikan kemudahan dalam menjaga keamanan dari tindakan kriminal, maka kita membutuhkan alat yang dapat memantau kegiatan sekitar kita selama 24 jam yaitu dengan kamera pengawas atau lebih sering dikenal dengan nama Closed Circuit Television (CCTV). CCTV dapat berfungsi sebagai alat bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan untuk menjadi petunjuk dan mengungkap tindak pidana di pengadilan. Berdasarkan permasalah diatas, maka akan dibahas pada artikel ini adalah “Bagaimana Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana?”

 

REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI

Pembuktian merupakan landasan bagi hakim dalam memutus perkara yang diperiksa yang bertujuan mencari atau menemukan kebenaran peristiwa yang digunakan sebagai dasar putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum. Dalam halnya suatu perkara pidana, maka menurut pasal 295 RIB hanya diakui sebagai alat-alat bukti yang sah, yakni: Kesaksian, Surat-surat, Pengakuan dan Petunjuk-petunjuk. KUHAP juga mengatur mengenai alat bukti yang sah dan dapat digunakan dalam membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana, yakni Pasal 184 ayat (1) yaitu: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa.

Bagi aparat penegak hukum, akan lebih mudah membuktikan apabila saksi dapat membuktikan kesalahan terdakwa yang telah melakukan kejahatan tindak pidana. Sebaliknya, apabila saksi tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa telah melakukan kejatahatan tindak pidana tersebut, maka aparat penegak hukum akan lebih sulit untuk menelusuri dan membuktikan kebenaran materil tersebut. Dalam KUHAP pada pasal 185 ayat (2), (3) dan (4) menyatakan kesaksian tersebut dikuatkan dengan alat pembuktian lain, maka dapatlah diperoleh bukti yang sah, bahwa aturan “unus testis nulus testis” bukanlah harus diartikan bahwa keterangan dari seorang saksi tidak mempunyai kekuatan pembuktian sama sekali, esensi alat bukti petunjuk ini diatur ketentuan Pasal 188 KUHAP.

Berbicara mengenai kamera CCTV dapat dijadikan sebagai alat bukti. Di masa lalu alat bukti yang dapat diterima di Pengadilan terbatas pada alat-alat bukti yang bersifat materiil, yaitu alat bukti yang dapat dilihat dan diraba. Namun seluruh alat bukti yang disebutkan dalam KUHAP tersebut tidak mengakomodir alat bukti elektronik. Secara keperdataan juga tidak jauh berbeda. Sebagaimana kita ketahui alat-alat bukti yang diakui dalam hukum acara perdata Indonesia diatur dalam HIR (Herzens Indonesisech Reglement) yaitu alat bukti yang berupa naskah otentik, keterangan saksi, pengakuan dan persangkaan oleh hakim.

CCTV dapat dipergunakan sebagai alat bukti petunjuk, jika CCTV tersebut mempunyai keterkaitan antara keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 188 Ayat (1), (2), (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi pedoman seiring perkembangan zaman pada kejahatan di Indonesia. Menurut Undang-Undang ITE, suatu informasi elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan.

Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah sebagaimana yang diatur oleh Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. CCTV juga menjadi alat bukti elektronik juga dinyatakan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena CCTV termasuk pada apa yang dinyatakan oleh Ayat (1) bahwa CCTV merupakan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti hukum yang sah.

Alat bukti elektronik khususnya rekaman video sebenarnya sudah menjadi hal yang biasa dalam praktek acara pidana di negara-negara maju, khususnya di negara dengan sistem common law. Selama ini kedudukan rekaman video dalam praktek belum jelas, banyak perdebatan mengenai pengakuannya dalam pembuktian perkara pidana, namun belakangan peran rekaman data elektronik khususnya video ini dapat mempunyai nilai dalam pembuktian di sidang pengadilan umum.

Keberadaan berbagai alat bukti yang tidak diatur dalam undang-undang, termasuk alat bukti elektronik ini sedikit banyak juga mempegaruhi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang diajukan terhadapnya di pengadilan yang sudah mulai mengakui dan menerima adanya bukti elektronik sebagai alat bukti. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetakkannya merupakan alat bukti hukum yang sah. Sedangkan hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat.

Agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah, Undang-Undang ITE telah mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi. Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik.

 

PENUTUP

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Kedudukan rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana sebagai Alat bukti diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah.
  2. Pertimbangan Hakim terhadap rekaman CCTV sebagai alat bukti yang sah dalam tindak pidana dalam putusan Majelis Hakim menjadikan Rekaman CCTV sebagai penguat dari keterangan saksi-saksi yang dihadirkan dalam penyelidikan.


...