Cari Halaman / Postingan

 
HUKUM PROGRESIF: PANCASILA SEBAGAI BINTANG PEMANDU
  16 November 2016  

Dunia hukum di Indonesia beberapa tahun belakangan ini diwarnai dengan hadirnya pemikiran tentang hukum progresif. Kajian mengenai hukum progresif diperkenalkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, seorang guru besar emeritus dalam bidang hukum. Hampir dalam setiap seminar, perkuliahan maupun tulisan beliau beberapa tahun menjelang kematian beliau di tahun 2010, beliau selalu memperkenalkan dan membahas tentang hukum progresif. Secara umum hukum progresif hadir untuk memberikan alternatif bagi pendekatan dalam interpretasi hukum di lndonesia yang didominasi oleh pendekatan yang dianggap formalistis dan kurang memperhatikan substansi keadilan. Hukum progresif menurut Prof. Satjipto mengedepankan hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya. Hukum progresif mencoba mendobrak tradisi berpikir legal-positivism; yang menganggap hukum hanya sebatas pada koridor peraturan perundang-undangan dan melakukan penafsiran perundang-undangan secara formal-tekstual sehingga dapat terjadi pengabaian nilai-nilai sosial dalam masyarakat, sehingga sulit untuk mewujudkan keadilan itu sendiri. Namun di sisi lain pemahaman hukum progresif yang keliru justru akan menghadirkan wacana penafsiran hukum yang bebas, sebebas-bebasnya lepas dari semua ikatan. Untuk itu dalam memahami dan menerapkan hukum progresif tetap diperlukan “bintang pemandu” yang dapat mengarahkan perkembangan hukum progresif kearah yang lebih manusiawi, berhati nurani dan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Keadilan yang ingin dicapai oleh hukum progresif adalah keadilan sosial seperti yang termaktub dalam sila kelima dari Pancasila yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bintang Pemandu tersebut tidak lain adalah cita hukum negara Indonesia yaitu Pancasila.

Pemahaman terhadap konsep hukum progresif tidak terlepas dari kondisi pemikiran hukum yang melatarbelakangi lahirnya hukum progresif. Pemahaman hukum menurut hukum progresif menegaskan bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.[1] Dalam pemahaman ini hukum progresif menempatkan manusia sebagai unsur utama dimana hukum merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaannya. Tidak seharusnya hukum menciptakan ukuran keadilannya sendiri melalui peraturan perundang-undangan justru dengan mengekang kebahagiaan manusia atau dengan mencederai nilai-nilai sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Hukum seharusnya dapat memenuhi kebutuhan manusia dalam hal kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum itu sendiri. Namun belakangan ini pemenuhan kebutuhan  itu semakin jauh dari yang diharapkan. Adanya kasus hukum yang mengusik rasa keadilan di masyarakat misalnya kasus Prita Mulyasari melawan RS. Omni Internasional dan kasus nenek Asyani yang didakwa mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dibuat tempat tidur semakin membuat masyarakat mempertanyakan keefektifan dan kemampuan pemenuhan keadilan oleh paham legal-positivism dimana keadilan adalah apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan.

Keadilan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan kadangkala tidak sejalan dengan gagasan awal pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri. Perbedaaan antara gagasan dengan apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan menghadirkan pengakuan terhadap sahnya penafsirn yang berbeda-bada mengenai teks hukum. Hak untuk menafsirkan atau membebaskan diri dari perintah hukum didasari oleh pendapat, bahwa perumusan suatu gagasan ke dalam peraturan tertulis, belum tentu benr-benar mampu mewadahi gagasan orisinal tersebut.[2] Pembebasan diri dari perintah hukum yang dimaksud termasuk dalam penerapan hukum progresif.

Dinamika perkembangan ilmu pengetahuan, teknolologi dan sosial kemasyarkatan adalah suatu keniscayaan sejak awal peradaban manusia ribuan tahun yang lalu. Dinamika muncul karena pemikiran, pola hidup dan situasi yang lama tidak dapat lagi mewadahi kehidupan manusia yang terus berubah. Demikian pula Hukum legal-positivism yang kaku akan selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat itu sendiri.  Hukum harus menemukan jalannya agar dapat mengikuti perkembangan zaman sehingga benar-benar dapat menghadirkan keadilan bagi manusia.

Hukum progresif melihat, mengamati dan ingin menemukan cara berhukum yang mampu memberi jalan dan panduan bagi kenyataan seperti tersebut di atas. Pengamatan dan pengalaman terhadap peta perjalanan dan kehidupan hukum yang demikian itu menghasilkan keyakinan, bahwa hukum itu sebaiknya bisa membiarkan semua mengalir secara alami saja. Hal tersebut bisa tercapai apabila setiap kali hukum bisa melakukan pembebasan terhadap sekat dan penghalang yang menyebabkan hukum menjadi mandek, tidak lagi mengalir. Tidak lagi mengalir, berarti kehidupan dan manusia tidak memperoleh pelayanan yang baik dari hukum[3].

Prof. Satjipto Rahardjo mengemukakan, bahwa hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah untuk membangun diri, sehingga berkualitas untuk melayani dan membawa rakyat pada kesejahteraan dan kebahagiaan. Ringkasnya beliau menuliskan bahwa hukum progresif itu sesungguhnya sederhana, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.

Pembebasan cara berpikir maupun bertindak dalam hukum yang dianut dalam hukum progresif sebaiknya diberikan panduan agar tidak menjadi liar. Panduan ini bukan bermaksud membatasi pembebasan yang dimaksud dalam hukum progresif, karena hal tersebut menjadi kontradiktif. Panduan yang dimaksud lebih kepada memberikan arah dari kebebasan tersebut agar kebebasan dalam hukum progresif tidak menjadi kontraproduktif dan justru melukai keadilan yang ingin dicapai oleh hukum progresif itu sendiri. Bintang pemandu (Leitstern) yang paling tepat bagi hukum progresif dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia, khususnya nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam sila ke-5 “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Cita Hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee), yang berlaku sebagai “bintang pemandu”.[4] Menurut Rudolf Stammler (1856-1939), cita hukum ialah konstruksi pikir yang merupakan keharusan bagi mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu (Leitstern) bagi tercapainya cita-cita masyarakat.[5] Cita hukum bangsa Indonesia berakar dalam Pancasila yang oleh para Bapak Pendiri Negara Republik Indonesia ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara sebagaimana dirumuskan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesama manusia, serta manusia dan alam semesta yang berintikan keyakinan tentang tempat manusia individual di dalam masyarakat dan alam semesta (Gani:1977;20). Pancasila sebagai cita hukum sekaligus sebagai norma fundamental negara yang telah disepakati bersama, merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat Indonesia.

Dalam hubungannya dengan penerapan Hukum Progresif, maka cita hukum Indonesia yaitu Pancasila merupakan pemandu agar kebebasan berpikir dan bertindak hukum dalam hukum progresif tidak menjadi liar dan disalahgunakan oleh segelintir orang. Penerapan hukum progresif dengan aktivitas yang berkesinambungan antara merobohkan hukum, yang mengganjal dan menghambat perkembangan (to arrest development) untuk membangun yang lebih baik, harus ditujukan untuk mencapai cita-cita masyarakat Indonesia yang salah satunya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Gustav Radbruch (1878-1949) berpendapat bahwa, Cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulative, yaitu yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.[6] Dengan demikian Pancasila sebagai cita hukum merupakan tolak ukur dari penerapan hukum progresif dalam usahanya untuk mencapai keadilan sosial. Hukum progresif harus berpedoman pada Pancasila karena tanpa menjiwai nilai-nilai dalam Pancasila khususnya keadilan sosial maka hukum progresif kehilangan maknanya sebagai hukum di Indonesia.

Hukum harus selalu mampu beradaptasi dengan perkembangan kehidupan manusia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar hukum dapat berjalan seiring dengan perkembangan zaman adalah dengan menerapkan Hukum Progresif. Hukum progresif bersifat dinamis, membangun diri, dan mengutamakan kebebasan dalam menjalankan hukum dengan meninggalkan hukum yang kaku demi tercapainya keadilan, namun kebebasan yang ada dalam hukum progresif harus sesuai dengan cita hukum Indonesia, yaitu Pancasila.

Kapten Chk Sultan Syahrir (Pamasis XX)

 

Daftar Pustaka : 

[1]  Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 2

[2] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010, hlm. 65

 [3] Ibid.,Hal 69

[4] Maria Farida Indarti,Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 229

[5] A.Hamid S.Attamimi, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, (Jakarta: BP 7 Pusat,1991), hal.62-63.

[6] Ibid.



...