TINDAK PIDANA MATA UANG
Oleh:
Agung Fahrizal Imam (2324)
MAHASISWA SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER “AHM-PTHM”
ANGKATAN XXV
2021
LATAR BELAKANG
Dalam hal penentuan nilai uang, secara umum, terdapat tiga jenis uang, yaitu: uang kartal, uang giral dan uang elektronik (electronic money). Namun demikian secara umum hal yang terjadi dalam praktik adalah penentuan nilai intrinsik dari uang itu sendiri, sehingga valuasinya juga ditentukan oleh pasar seperti misalnya penentuan nilai dalam uang virtual atau uang kripto (cryptocurrency). Akibatnya dalam hal penentuan nilai pada suatu mata uang digunakan oleh sebagian orang sebagai bentuk dari pertukaran (barter), selain sebagai alat pembayaran sebagaimana yang telah ditentukan undang-undang.
Dalam hukum positif, salah satu bentuk uang yang diakui adalah uang elektronik sebagimana diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik (selanjutnya disingkat PBI Uang Elektronik). Didalam PBI Uang Elektronik jenisnya yang dikenal hany ada dua, yaitu yang berbasiskan server dan yang berbasiskan chip. Apabila merujuk pada definisi yang dibuat oleh World Bank, uang kripto disebut dengan terminologi uang virtual/uang kripto (cryptocurrency). Pandangan pendapat World Bank juga disepakati oleh Bank Sentral Uni Eropa, sehingga secara rumpun, uang kripto berbeda dengan uang elektronik (fiat money). Dengan demikian maka uang elektronik berbeda dengan uang virtual. Akan tetapi apabila ditempatkan pada genus definisi, keduanya adalah uang digital.
ANALISA MASALAH
Tindak pidana mata uang berbeda dengan tindak pidana pencucian uang. Dalam literatur hukum positif Indonesia, pembahasan tentang tindak pidana mata uang masih sangat terbatas, bahkan tesis, dan disertasi yang membahas masalah ini sangatlah langka. Penulis coba menelusuri jurnal online yang membahas masalah ini pun tidak banyak. Literatur yang banyak ditulis adalah tentang tindak pidana pencucian uang. Padahal dengan perkembangan mata uang elektronik, maka pengaturan tindak pidana mata uang tidak cukup hanya mengandalkan undang-undang yang ada termasuk undang-undang informasi dan transaksi elektronik.
Undang-Undang No. 7 tahun 2011, tidak memberikan definisi tentang tindak pidana mata uang. Namun dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 7/2011 tentang Mata Uang, disebutkan bahwa kejahatan terhadap Mata Uang, semakin merajalela dalam skala yang besar dan sangat merisaukan terutama dalam hal dampak yang ditimbulkannya yang dapat mengancam kondisi moneter dan perekonomian nasional.
Dalam artikel ini, penulis memaparkan tiga jenis tindak pidana mata uang yang diatur dalam Pasal 9-13 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, Pasal 244-252 KUHP, dan Pasal 33-41 Undang-Undang 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang no. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang No. 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.
Kelahiran UU No. 1 Tahun 1946 dalam rangka melindungi kedaulatan Republik Indonesia dari perpecahan, membangkitkan semangat nasionalisme dan melindungi tumpah darah Indonesia. Ada tiga hal besar yang diatur dalam UU ini yaitu soal mata uang, soal bendera dan soal kabar bohong/kabar tidak pasti yang menimbulkan keonaran atau huru-hara. Selain itu, kelahiran UU No. 1 Tahun 1946 juga sebagai adaptasi terhadap KUHP peninggalan Belanda dan mengisi kekosongan KUHP tersebut.
Pasal 244 mengatur tentang siapa saja yang meniru atau memalsu mata uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli dan tidak palsu. Jadi, ketika seseorang mengumpul uang asing dan menggandakan atau memperbanyak (misalnya di fotocopi) lalu mengedarkan maka telah terpenuhilah unsur pasal ini. Namun jika dia hanya melakukan fotocopy selembar uang asing, dan bermaksud menyimpannya saja dan tidak mengedarkannya maka belum terpenuhi unsur pasal ini.
Dalam Pasal 245 ada dua macam delik yang diatur yaitu sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu yang dia sendiri memalsunya atau pada waktu diterima diketahuinya tidak asli atau dipalsu. Kedua, menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang atau uang kertas palsu.
Pasal 249 mengatur tentang perbuatan yang dengan sengaja mengedarkan uang tidak asli atau palsu. Misalnya seseorang menerima uang palsu dari orang lain dan dia tahu uang itu palsu, lalu mengedarkan uang tersebut atau membelanjakan uang tersebut. Namun jika orang tersebut tidak mengetahui uang tersebut adalah uang palsu dan mengedarkannya atau membelanjakannya maka orang tersebut tidak bisa dipidana dengan pasal ini.
Pasal 250 KUHP secara khusus mengatur seseorang yang memiliki atau mempunyai persediaan bahan atau benda untuk memalsu uang. Dalam hal ini yang dilarang adalah mempunyai persediaan bahan atau benda untuk memalsu uang. Pada kondisi demikian, yang dilarang adalah membuat mempunyai persediaan untuk memalsu, meniru atau mengurangi nilai mata uang.
Pasal 250 bis, tidak secara khusus mengatur tentang jenis tindak pidana pemalsuan mata uang, tetapi mengatur tentang pidana tambahan yaitu berupa perampasan, baik mata uang yang dipalsukan maupun bahan untuk membuat uang palsu. Pasal 251, yang ingin dilindungi dari delik ini adalah agar penerima tidak tertipu mengira kepingan itu adalah uang. Pasal ini kurang penting sekarang ini karena mata uang (koin) sekarang tidak dibuat dari logam mulai.
Pasal 38 mengatur tentang pemberatan pidana yang dilihat dari subjek hukumnya yaitu Pegawai Bank Indonesia atau Pegawai Percetakan Rupiah. Selain mengancam dengan pemberatan jika dilakukan secara terorganisir diikuti dengan dngan kejahatan terorisme atau yang mengganggu perekonomian nasional. Pasal 39 telah memasukkan kejahatan korporasi dalam tindak pidana mata uang. Ini menutup kelemahan dari undang-undang sebelumnya yang tidak menjadikan korporasi sebagai subjek hukum. Pada Pasal 40 juga mengatur tentang pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda dengan pengaturan yang lebih terukur, yaitu setiap pidana denda 100 juta disamakan dengan pidana kurungan 2 bulan. Pasal 41 mengatur tentang jenis tindak pidana, dimana Pasal 33 dan 34 dikualifikasikan sebagai pelanggaran sementara Pasal 35-37 dikualifasikan sebagai kejahatan.
KESIMPULAN
Kejahatan pemalsuan dan pengedaran mata uang kertas merupakan kejahatan yang serius karena selain bertujuan untuk memperkaya diri secara ekonomi, pemalsuan tersebut dapat juga bertujuan untuk menghancurkan perekonomian negara secara politis. Disamping itu kejahatan tersebut semakin lama semakin canggih karena dengan kemajuan teknologi yang ada, masyarakat yang ingin memperoleh kekayaan denga cepat akan melakukan kejahatan yang dimaksud dengan cara yang paling baru. Dalam upaya menangkal peredaran uang rupiah palsu di masyarakat, Bank Indonesia melakukan kegiatan Sosialisasi/penyuluhan tentang ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat yang di dalam pekerjaannya sehari-hari selalu berhubungan dengan fisik uang.
Sementara itu, tindak pidana mata uang yang ada dalam Pasal 33-41 Undang-Undang 7/2011 tentang Mata Uang merupakan delik yang melarang menggunakan mata uang selain rupiah dalam transaksi untuk tujuan pembayaran atau kewajiban lainnya. Undang-undang ini juga mengancam setiap orang yang menolak rupiah sebagai alat pembayaran. Ketentuan lainnya memiliki kemiripan dengan pasal-pasal yang ada dalam Pasal 244-252 KUHP seperti memalsu rupiah, meniru atau merusak rupiah.
SARAN
Diharapkan dalam penggunaan mata uang sebaiknya menggunakan mata uang yang sah yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Dipedomani aturan-aturan lain yang mengatur tentang mata uang.
Pemerintah perlu menyiapkan sanksi yang tegas untuk memberikan efek jera. dalam hal ini, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Pemerintah perlu mengadakan kerja sama dengan masyarakat. Dalam kasus pemalsuan dan pengedaran mata uang kertas, sikap dan sifat masyarakat memegang kunci penting. Kesadaran masyarakat akan tindak pidana tersebut perlu diperbaiki. Sehingga bila masyarakat menemukan mata uang kertas palsu, mereka cenderung akan melaporkan kepada pihak yang berwajib dari pada membelanjakannya. Pada akhirnya, mata uang kertas palsu yang beredar di masyarakat dapat ditekan.