Cari Halaman / Postingan

 
Seminar Tentang Urgensi Pembaruan Hukum Pidana Militer Dalam Kebijakan Legislasi Nasional
  19 Juni 2019  

Jakarta, www.sthmpthmahm.ac.idSekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) “AHM-PTHM” Ditkumad menyelenggarakan kegiatan Seminar Tentang Urgensi Pembaruan Hukum Pidana Militer Dalam Kebijakan Legislasi Nasional, yang dibuka oleh Ketua STHM “AHM-PTHM” Ditkumad Kolonel Chk Dr. Tetty Melina, S.H., M.H., dengan narasumber yang terdiri dari Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, S.H., M.H., Kolonel Chk Dr. Tiarsen Buaton, S.H., LL.M., dan Kolonel Chk Dr. Agustinus PH, S.H., M.H., dengan Moderator Mayor Chk Sutrisno, S.H., M.H., bertempat di Aula STHM “AHM-PTHM” Ditkumad Jl. Matraman Raya No. 126 Jakarta Timur, Rabu (19/6).

Dalam sambutannya, Tua STHM menyampaikan bahwa seminar kali ini bertujuan untuk menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Pidana Militer (HPM) yang selama ini belum pernah mengalami perubahan, padahal dihadapkan dengan kondisi saat ini sangatlah perlu adanya pembaruan undang-undang Hukum Pidana Militer. Agenda RUU HPM ini nantinya akan dibahas lebih lanjut di kementerian pertahanan dan akan dijadikan sebagai agenda legislasi nasional agar mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.

Selanjutnya Tua STHM juga mengingatkan kepada para peserta seminar dimana hukum pidana militer merupakan hukum yang digunakan untuk menopang kehidupan prajurit TNI yang telah diatur dalam undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer yang saat ini perlu diadakan pembaruan. Untuk itu, Tua STHM berharap agar para peserta dapat memberikan ide-ide atau gagasan-gagasan baru guna meningkatkan disiplin prajurit sehingga dalam pembaruan hukum disiplin militer nantinya dapat terwadahi.

Dalam kesempatan yang sama, Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, S.H., M.H., selaku narasumber menyampaikan beberapa point penting dalam pembaruan hukum pidana militer diantaranya; pertama, Dilihat dari urgensi pembaruan Hukum Pidana Militer dalam system hukum nasional sudah sangat jelas diuraikan dalam Term Of Reference (TOR). Kedua, Pembaruan HPM merupakan suatu kebutuhan dengan pertimbangan disesuaikan dengan cita rasa keadilan hukum nasional serta perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia setelah reformasi. Agenda pembaruan hukum pidana militer nasional ini perlu dijadikan agenda legislasi nasional yang perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Ketiga, Pembaruan HPM pada era reformasi ini, menuntut transparasi, kebebasan, demokratisasi dan persamaan hak yang berimbas pada penyelenggaraan peradilan militer. Sementara prinsip equality before the law menghendaki tidak ada warga Negara yang mendapat keistimewaan apalagi dalam bidang peradilan. Keempat, Pembaruan HPM agar mengacu pada praktek peradilan militer yang meliputi; substansi hukum militer, struktur hukum militer dan budaya hukum militer, sehingga pembaruan HPM dapat diterapkan dengan sistem pertanggungjawaban Komando.

Selain Prof. Gayus, narasumber kedua Kolonel Chk Dr. Tiarsen Buaton, juga memberikan keyakinan kepada para peserta seminar bahwa yang namanya status sipil dan status militer jelas memiliki perbedaan, dimana militer itu dipersenjatai sementara sipil itu tidak sehingga militer itu sendiri perlu memiliki peradilan tersendiri, mengingat tugas militer untuk mempertahankan kedaulatan Negara tidaklah mudah. Selain itu, Dr. Tiarsen yang pernah melaksanakan tugas ke luar negeri juga pernah membandingkan peradilan militer Indonesia dengan peradilan militer Negara lain, dimana dalam penelitiannya, sampai saat ini belum ada militer yang melakukan tindak pidana umum diadili diperadilan umum. Selain itu, Setiap negara mempunyai peradilan militer yang mempunyai ciri tersendiri dalam arti tidak ada peradilan militer yang sama. Militer dianggap sebagai masyarakat khusus yang harus selalu siap untuk digunakan dalam rangka mempertahankan Negara. “tegas Dr. Tiarsen”

Selanjutnya menurut narasumber ketiga yaitu Kolonel Chk Dr. Agustinus PH, S.H., M.H., dalam pembaruan HPM yang menjadi alasan yang kuat sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Prof. Sudarto yaitu; Pertama, Dari segi politik. wajar Bangsa Indonesia yang sudah merdeka  mempunyai KUHP sendiri  karena   hal  itu   adalah  merupakan simbol (lambang) dari kebanggaan sebagai bangsa yang telah merdeka. Kedua, Alasan praktis, adalah dari segi penerapan hukum, jika mendasari pada hukum warisan kolonial, dimana  teks resmi KUHP adalah berbahasa Belanda maka sehubungan dengan itu, tidaklah cocok dengan Bahasa Indonesia yang sudah mendarah daging dari Bangsa Indonesia. Dan yang Ketiga, Secara sosiologis, KUHP (WvS) tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Ini tentunya bertentangan dengan masalah kebudayaan, disisi lain KUHP Belanda berdasarkan sistem kapitalisme, dan liberal. Sementara Bangsa Indonesia berdasarkan kebersamaan, kekeluargaan. Maka, dari sinilah sudah tidak cocok bahwa KUHP diterapkan di negara kita.

Para peserta Seminar sangat antusias dalam menerima materi dari para narasumber, hal ini terlihat dari banyaknya para peserta yang memberikan gagasan-gagasan baru guna melengkapi RUU KUHPM yang akan dijadikan sebagai agenda program legislasi nasional yang akan disampaikan melalui kementerian pertahanan. 

Acara seminar berjalan dengan tertib dan aman, dan diakhiri dengan foto bersama dan ramah tamah.

Turut hadir dalam seminar, Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, S.H., M.H., Brigjen TNI Abdul Rasyid, S.H., M.H. Perwakilan dari Puspomad Kolonel Inf Kemas, Perwakilan dari Staf Kemhan, Dilmil, Otmil, Babinkum TNI, Orjen TNI, Dilmilti, Kopassus, Para Pejabat STHM, dan Para Perwira Mahasiswa STHM. (Pamasis XXII/STHM “AHM-PTHM”)



...